KOTA BEKASI

Penarikan Kendaraan Oleh Debt Collector : Praktik Melawan Hukum Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen dan Putusan Mahkamah Konstitusi

 

Oleh: Agus ATP, S.H.
Direktur LKBH PWI Bekasi Raya

Fenomena penarikan kendaraan bermotor oleh pihak ketiga (debt collector) yang mengatasnamakan perusahaan pembiayaan (leasing) masih kerap terjadi di lapangan.

Modusnya beragam, mulai dari membawa surat kuasa, menunjukan lembaran Berita Serah Terima Kendaraan (BSTK), hingga melakukan intimidasi kepada debitur agar menyerahkan kendaraan yang menunggak angsuran.

Dalam konteks ini, patut diduga praktik tersebut sebagai tindakan yang tidak sah, melanggar hukum, dan mengabaikan asas perlindungan terhadap konsumen.

Secara hukum, dasar pembiayaan kendaraan dengan jaminan fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam praktik sebelumnya, pihak leasing sering mengandalkan Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia untuk menarik kendaraan secara sepihak (parate executie).

Namun, setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, terjadi perubahan fundamental dalam penegakan hukum terkait eksekusi jaminan fidusia.

*MK menegaskan bahwa:*
_“Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditur tanpa melalui pengadilan hanya dapat dilakukan apabila telah terdapat kesepakatan mengenai adanya cedera janji (wanprestasi) dan debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan.”_

Dengan demikian, sejak putusan tersebut inkracht, tidak ada lagi ruang bagi leasing atau debt collector untuk secara sepihak menarik kendaraan tanpa putusan pengadilan atau kesukarelaan dari debitur.

Penarikan secara paksa oleh pihak ketiga, meski disertai surat kuasa atau BSTK, dapat dipastikan hal tersebut tidak memiliki dasar hukum dan dapat dikualifikasi sebagai perampasan, bahkan berpotensi melanggar Pasal 365 KUHP tentang pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

*Aspek Perlindungan Konsumen*

Lebih lanjut, dalam perspektif perlindungan konsumen, tindakan ini juga jelas bertentangan dengan semangat dan norma dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen (dalam hal ini debitur) berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan jasa perusahaan pembiayaan, termasuk dalam hal penagihan maupun eksekusi. Tindakan intimidatif dan represif oleh debt collector adalah bentuk pelanggaran hak konsumen, yang bisa ditindak secara pidana dan administratif.

*Pasal 4 huruf a dan c UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen berhak:*
1. Mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Praktik debt collector yang menggunakan cara-cara premanisme dan tekanan psikologis jelas bertolak belakang dengan semangat perlindungan konsumen dalam hukum nasional.

*Surat Kuasa Tidak Menggantikan Putusan Pengadilan*

Surat kuasa yang diberikan oleh leasing kepada pihak ketiga bukan merupakan alat eksekusi hukum yang sah. Surat kuasa hanya bersifat internal sebagai bentuk pelimpahan wewenang antar-sipil, bukan legalisasi untuk mengambil alih barang dari seseorang tanpa mekanisme hukum.

Hal ini juga ditegaskan dalam Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021 yang melarang praktik penarikan kendaraan oleh debt collector secara paksa dan menegaskan bahwa:
_“Anggota Polri dilarang memberikan bantuan pengamanan terhadap penarikan objek jaminan fidusia apabila dilakukan tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.”_

*Tanggung Jawab Pidana dan Perdata*

Maka dari itu, setiap tindakan penarikan kendaraan tanpa putusan pengadilan dan tanpa persetujuan debitur, tidak hanya melawan hukum perdata, tetapi juga berpotensi memicu pertanggungjawaban pidana dan tuntutan ganti rugi secara perdata. Debitur dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, serta melaporkan unsur pidana seperti pengancaman, perampasan, dan pencurian kendaraan.

Melalui opini hukum ini, saya ingin menegaskan bahwa praktik penarikan kendaraan oleh debt collector secara paksa bukan hanya bentuk pelanggaran moralitas hukum, tetapi juga perbuatan melawan hukum secara konstitusional, perdata, pidana, dan administratif.

Pemerintah, aparat penegak hukum, dan perusahaan pembiayaan harus segera mengevaluasi dan menghentikan praktik-praktik melanggar hukum ini, demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat.

Sudah saatnya penegakan hukum lebih berpihak pada keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil masyarakat kecil yang kerap menjadi korban sistem yang timpang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *