DAERAH

Skandal Air Panas, Bisnis Wisata Diluar Kawasan BKSDA, Legal Atau Ilegal?

 

Garut, zonaInformasinews.com, – Di balik panorama pegunungan yang menyejukkan dan hangatnya aliran air panas yang menggoda di Garut, tersembunyi sebuah persoalan pelik yang mengusik: Apakah bisnis wisata air panas yang mengambil sumber dari kawasan konservasi telah sesuai hukum, atau justru melanggar aturan dengan cara yang terselubung?

Kawasan konservasi bukan sekadar ruang hijau. Ia ditetapkan melalui proses hukum yang ketat oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), mulai dari penunjukan lokasi, pengukuhan batas, hingga keluarnya surat keputusan resmi. Namun, praktik di lapangan ternyata tidak sesederhana di atas kertas.

Dalam wawancara eksklusif dengan ZonaInformasinews.com, ahmad toni perwakilan BKSDA Jawa Barat, mengungkap adanya aktivitas komersial yang memanfaatkan air panas dari kawasan konservasi. Ia menyebut bahwa bisnis-bisnis seperti hotel dan pemandian umum, khususnya di kawasan Darajat, sebagian mengambil air panas dari wilayah yang dikelola oleh BKSDA dan Perhutani.

“Pemanfaatan sudah berlangsung sejak sebelum banjir bandang tahun 2009. Dulu hanya warung-warung kecil, sekarang sudah berkembang jadi industri wisata besar,” ujar Ia menegaskan bahwa pihak BKSDA sudah beberapa kali wawan memberikan peringatan dan meminta pengelola agar segera mengurus perizinan.

Namun, perizinan ini bukan perkara mudah. Perubahan regulasi di tingkat nasional sempat membuat proses pengajuan izin tersendat. Pencabutan pasal dalam UU No. 32 yang sebelumnya melarang pemanfaatan air dari kawasan konservasi untuk komersial sempat membuka peluang legalitas, tetapi tetap dengan syarat kepatuhan administratif yang ketat.

Situasi ini kian kompleks ketika diketahui bahwa tidak semua kawasan dikelola dengan standar yang sama. Kawah Papandayan, misalnya, sudah mengantongi izin resmi. Sebaliknya, tempat lain seperti Telaga Sari masih beroperasi tanpa kejelasan legalitas. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah pemanfaatan air panas dari kawasan konservasi, lalu dialirkan dan dikomersialkan di luar batas resmi, bisa dianggap sah secara hukum?

Fenomena ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan inkonsistensi dalam penegakan aturan. Jika terus dibiarkan, skema “abu-abu” ini berisiko menciptakan preseden buruk: keuntungan ekonomi didahulukan, sementara prinsip konservasi dan perlindungan lingkungan dikesampingkan.

Tanpa kerangka regulasi yang jelas dan pengawasan tegas dari pemerintah daerah maupun pusat, komersialisasi sumber daya alam bisa menjadi ladang eksploitasi yang tak terkendali. Pada akhirnya, bukan hanya hukum yang dilecehkan—tetapi alam yang menjadi korban bisu.(Yopi/Ajun)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *