DAERAH

Mengetahui, Memahami & Mengenal Apa ” Restorative Justice’

Restorative justice adalah Adanya Perdamaian Kedua Belah Pihak dengan Mengacu kepada Dasar Hukum yang telah Ditetapkan dimana penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian. Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021. Arti restorative justice berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait.

Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.


Dalam pelaksanaan restorative justice, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum.


Prinsip Restorative Justice
adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.


Hukum yang adil dalam keadilan restorative justice tentunya tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku, serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.

Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana termuat dalam beberapa peraturan sebagai berikut ini:
 Pasal 310 Kitab Undng-Yndang Hukum Pidana (KUHP).
 Psl 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidan.


 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.


 Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012,

Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice.


 Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.
 Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan
 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.


 Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:
 Tindak Pidana Anak.
 Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hukum.
 Tindak Pidana Narkotika.
 Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik.
 Tindak Pidana Lalu Lintas.

Syarat Pelaksanaan Restorative Justice.
Syarat pelaksanaan restorative justice adalah termuat dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berikut ini persyaratan umum pelaksanaan restorative justice secara materiil, meliputi:

 Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat
Tidak berdampak konflik sosial.
 Tidak berpotensi memecah belah bangsa
Tidak radikalisme dan separatisme
 Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan
 Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Sedangkan persyaratan umum pelaksanaan restorative justice secara formil, meliputi:

 Perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkotika.
 Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.
 Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana Narkotika).
Adapun persyaratan khusus dalam penanganan tindak pidana berdasarkan restorative justice merupakan persyaratan tambahan untuk tindak pidana lainnny.
Dalam melakukan restorative justice perlu dilakukan beberapa pedoman, di antaranya:

  1. Setelah menerima permohonan perdamaian kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai, dilakukan penelitian administrasi syarat formil penyelesaian perkara melalui restorative justice.
  2. Permohonan perdamaian setelah persyaratan formil terpenuhi diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.
  3. Setelah permohonan disetujui oleh atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, Kapolres untuk selanjutnya menunggu ditetapkan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.
  4. Pelaksanaan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani semua pihak yang terlibat.
  5. Membuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker perihal permohonan dilaksanakannya gelar perkara khusus untuk tujuan penghentian perkara.
  6. Melaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta pelapor dan atau keluarga pelapor, terlapor dan atau keluarga terlapor, dan perwakilan masyarakat yang ditunjuk penyidik, penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum dan unsur pemerintahan bila diperlukan.
  7. Menyusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil gelar perkara.
  8. Menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.
  9. Dalam tahap penyelidikan, penyelidik menerbitkan surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.
  10. Mencatat ke dalam buku register baru B-19 sebagai perkara Restorative Justice dihitung sebagai penyelesaian perkara.
    Contoh Kasus yang Menggunakan Pendekatan Restorative Justice
    Ada beragam contoh kasus yang bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.

Misalnya pelaku tindak pidana ringan Seperti :
 Penghinaan ringan.
 Pencurian ringan.
 Penipuan ringan
 dan lain-lain.
Semoga Bermanfaat Ya!
Salam Komunitas BIRBAKUM Garut.(Risman Risyanto)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *